Pemanis Buatan Resiko Diabetes

Bahan pemanis pertama yang digunakan dalam sejarah adalah madu, yang digunakan dalam kebudayaan Yunani dan Cina. Seiring dengan berjalannya waktu, madu digantikan dengan sakarosa, yang diproduksi dari tebu.

Pemanis buatan yang pertama diproduksi adalah sakarin, yang dibuat pertama kali oleh Remsen dan Fahlberg pada tahun 1879. Sakarin diterima secara luas pada masa Perang Dunia ke I dan II, karena biaya produksi yang relative murah dan berkurangnya cadangan gula pada masa itu.

Setelah perang dunia, kemampuan ekonomi masyarakat mulai pulih, dan gula mulai tersedia kembali secara luas. Namun berkembangnya produksi permen gula dan industri makanan cepat saji, meningkatkan angka kejadian obesitas dalam masyarakat. Oleh sebab itulah, dengan alasan menurunkan asupan kalori dan menurunkan kejadian obesitas, pemanis buatan semakin banyak digunakan dibandingkan dengan gula biasa. Karena menguntungkan, pasar terus dibanjiri dengan produk-produk penurun kalori, sehingga penggunaan pemanis buatan semakin meningkat.

Namun apakah benar pemanis buatan dapat menurunkan asupan kalori dan menurunkan angka kejadian obesitas dan bahkan diabetes melitus?
Dalam pertemuan The Endocrine Society yang ke-91, ENDO 2009, dipresentasikan sebuah penelitian yang melaporkan bahwa orang yang mengkonsumsi pemanis buatan lebih mudah menderita diabetes melitus dan lebih mudah mengalami resistensi insulin dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakan pemanis buatan.

Kristofer S. Gravenstein adalah peneliti utama dari penelitian ini, bekerja sama dengan the Clinical Research Branch dari National Institute of Aging (NIA), National Institutes of Health (NIH). Penelitian ini menganalisa data-data dari 1257 peserta yang terlibat dalam the Baltimore Longitudinal Study of Aging (BLSA, sebuah penelitian yang dimulai sejak tahun 1958), dengan usia rerata 64,8 tahun (kisaran, 21-96 tahun). Pasien memiliki data-data pribadi mengenai asupan harian, TTGO (tes toleransi glukosa oral) dan juga pengukuran antropometrik. Penelitian dibagi dalam 3 kelompok penelitian: pengguna pemanis buatan, bukan pengguna pemanis buatan, dan kontrol. Pemanis buatan yang paling banyak digunakan adalah aspartam (paling disukai oleh 66% peserta BLSA), sakarin (13%), sukralosa (1,0%), dan kombinasi ketiganya (21%).

Gravenstein mengatakan bahwa pada saat analisa dilakukan, para ahli menemukan bahwa peserta penelitian mengkonsumsi lebih banyak lemak sebelum tahun 1983. Tahun 1983 adalah tahun dimana terjadi peningkatan penggunaan pemanis buatan dalam masyarakat Amerika Serikat. Tahun itu juga merupakan tahun di mana aspartam mendapatkan persetujuan sebagai pemanis buatan dan diet Coke mulai diperkenalkan pada masyarakat. Karena itulah, analisa lanjutan dilakukan terhadap data-data pasien dari tahun 1983.

Hasil analisa memperlihatkan bahwa bila dibandingkan dengan 550 peserta yang tidak menggunakan pemanis buatan, 443 peserta pengguna pemanis buatan berusia lebih muda, memiliki berat badan dan memiliki indeks massa tubuh yang lebih besar, walaupun mereka tidak mengkonsumsi kalori lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan pemanis buatan. Asupan lemak, karbohidrat, protein dan asupan kalori total tidak berbeda antara pengguna pemanis buatan dengan bukan pengguna.



Gravenstein juga mengatakan bahwa dalam penelitian ini, kesempatan bagi para pengguna pemanis buatan untuk memiliki kadar TTGO atau homeostasis glukosa yang normal lebih kecil dibandingkan dengan bukan pengguna. Selain itu, sehubungan dengan status glukosa, yaitu TGT (toleransi glukosa terganggu) dan/ atau GPT (glukosa puasa terganggu), pengguna pemanis buatan memiliki prevalensi terjadinya diabetes yang sama dengan pasien prediabetes. Peserta yang menggunakan pemanis buatan memiliki risiko 2 kali lipat lebih banyak terkena diabetes (8,8%), dibandingkan dengan kontrol (4,4%).

Pada analisa lebih lanjut pada subpopulasi, pada ahli membandingkan kadar insulin puasa antara 374 bukan pengguna dengan 311 pengguna pemanis buatan. Ternyata pengguna pemanis buatan memiliki kadar glukosa darah puasa yang lebih tinggi, kadar insulin puasa yang lebih tinggi dan resistensi insulin yang lebih besar. Kadar HbA1c (glycosylated hemoglobin A1C) tidak berbeda antara kedua kelompok penelitian.

Para ahli menyimpulkan sebuah hipotesa bahwa pemanis buatan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh, melalui sel endokrin enteral, dan karena itu berkontribusi terhadap terjadinya diabetes dan/ atau obesitas. Namun hipotesa ini memerlukkan penelitian lebih lanjut dengan analisa longitudinal dan penelitian intervensi.

Kesimpulan:

* Penelitian memperlihatkan bahwa pengguna pemanis buatan lebih mudah menderita diabetes melitus dan lebih mudah mengalami resistensi insulin dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakan pemanis buatan.
* Penelitian lanjutan diperlukkan untuk memberikan kepastian akan hipotesa ini, apalagi mengingat banyak dokter dalam praktik menganjuran pasien untuk menggunakan pemanis buatan untuk mengurangi asupan kalori.

Reader Comments



Welcome in blog cared Health

Thank you for taking the time to visit my blog! To you that felt did not yet know about the world of the health come on here the Solution to the life of your health !

Health Cafe by Health Life You

Search This Blog

Subscribe Now: standard

Translate Language


Masukkan Code ini K1-17893D-2
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com